Posted by : Krisna Adhitama Thursday, September 22, 2011

SEBUAH perahu kurus dan sederhana melancar di atas ombak. Angin mendorong layarnya yang primitif. Dalam beberapa jam saja para penumpangnya - warganegara Republik Indonesia, mungkin penyelundup, -- akan sampai ke pantai sebuah negeri lain. Bernama Singapura. Begitu dekat jarak kedua negeri itu: selat yang memisahkannya tak sampai lebih lebar dari 30 mil. Tapi seperti sering terjadi dalam masalah hubungan antar-negara, sejarah yang datang kemudian merupakan faktor yang lebih penting daripada peta bumi. Dan sejarah mutakhir antara Singapura dan Indonesia memang bukanlah sejarah yang selalu menggambarkan keintiman. Itulah sebabnya kalau Perdana Menteri Lee Kuan Yew minggu ini berkunjung ke Jakarta, sebenarnya sesualu yang bisa disebut historis terjadi -- bila tak ada aral melintang.
Seperti tamu-tamu penting lainnya, orang kuat Singapura ini akan disambut dengan upacara resmi. Seperti tamu-tamu resmi lainnya juga, ia akan berkunjung ke Taman Pahlawan Kalibata, meletakkan karangan bunga. Dan antara lain di situlah peristiwa yang menarik akan terjadi. Sebab di antara pahlawan Indonesia yang dimakamkan di situ terdapat dua nama, Usman dan Harun. Mereka adalah dua prajurit KKO yang pada pagi hari 17 Oktober 1968 mati menjalani hukuman gantung yang dijatuhkan pemerintah Singapura. Penjara-Canggih Yang terjadi di penjara Canggi hari itu memang merupakan noktah hitam yang buruk dalam riwayat kehidupan bertetangga kedua Republik setelah masa konfrontasi. Di seluruh Indonesi orang terkejut dan marah pada tindalan Singapura, termasuk mereka yang tak menyetujui politik "ganyang" Presiden Soekarno yang telah menyelundupkan kedua prajurit Indonesia itu ke seberang untuk sabotase. Begitulah, waktu itu bendera setengah tiang dikibarkan di mana-mana. Para mahasiswa KAMI, yang baru saja reda dengan demonstrasi menentang pemerintah lama mereka, beraksi kembali dan bahkan merusak kaIltor kedutaan Singapura di Jakarta, tindakan pertama post-Gestapu terhadap sebuah perwakilan asing nonkomunis. Kepala Daerah DKI Jaya, Ali Sadikin, seorang perwira tinggi KKO, bahkan dikutip menyatakan kemarahannya hingga ia "ingin berkelahi lagi", dengan pandanan ke kota besar lain di seberang Selat Singapura itu. Malahan umum diketahui. bahwa Presiden Suharto sendiri -- seorang prajurit, tapi lebih dari itu seorang serius yang perasa -- bukan tidak marah benar. Kepala Negara waktu itu tclah menjalankan usaha untuk menyelamatkan jiwa Usman dan Harun semaksimal mungkin dalam batas-batas kesopanan hubungan internasional, tapi diplomasi bersahabat Presiden yan baru dua tahun menggantikan Soekarno ini ditampik oleh sang negara tetangga. Kedua prajurit itu tetap menjalankan hukumam Tak mengherankan bila sekelompok mahasiswa Singapura sendiri (yang biasanya diam saja) menyesalkan sikap pemerintah mereka dan seorang sarjana dari negeri itu kemudian mengakui bahwa "waktu itu kami belum tahu benar Indonesia". Memang, dalam soal penggantungan dua prajurit KKO itu tak seluruhnya Pemerintah Singapura berdiri dalam pojok yang salah. Seperti dikatakan oleh Let. Jen. Rukminto Hendraningrat, Dutabesar RI untuk Singapura sekarang kepada TEMPO minggu lalu: "Mereka memang mewarisi tradisi hukum Inggeris yang tidak mengenai campur tangan politik". Hingga seandainya pun kepentingan politik waktu itu menyeyogyakan pemerintah Singapura agar dua KKO itu tidak jadi dihukum mati, pengadilan akan tetap melihatnya dari segi kesamaan perlakuan oleh hukum. Tentu saja pendapat seperti itu masih bisa diperdebatkan - mengingat kuatnya pengaruh pemerintah Lee Kuan Yew di segala bidang kehidupan Singapura dan adanya. keluwesan juridis sekedarnya, misalnya untuk menangguhkan pelaksanaan hukuman. Tapi ucapan Duta besar Rukminto mencerminkan sikap pemerintah Indonesia kini, hampir 5 tahun setelah peristiwa itu terjadi, dalam suatu masa ketika kerukunan ASEAN harus diutamakan: bahwa kita tak perlu lagi mencari-cari kesalahan Singapura dalam perkara itu sebab yang pokok sekarang adalah hubungan baik. Nomor Empat Hubungan baik itu nampak jelas benar merupakan garapan penting para pemimpin kedua negara. Salah satu hasilnya ialah kenyataan bahwa Singapura kini merupakan negara nomor empat dalam urutan negara-negara penanam modal di Indonesia, dalam kira-kira 40 proyek yang bernilai lebih dari $ 170 juta. Pemerintah Singapura memang menganjurkan para usahawan negeri itu mengadakan investasi di sini. Dan kehidupan diplomatik kedua negara cukup maju. Staf inti KBRI di Singapura terdiri dari orang-orang yang penuh pengertian akan pendirian Singapura dalam banyak hal, dan sungguh berarti besar bahwa mereka dipimpin oleh seorang Dutabesar bekas Sekjen ASEAN. Begitu pula staf inti kedutaan besar Singapura di Jakarta -- berbeda dengan masa sebelumnya --juga menunjukkan kegiatan yang lebih mcluas dan nampak Dutabesarnya, Lee Khoon Choy, seorang pendiam tanpa kemanisan diplomatik yang lancar-licin, barangkali karena kegemarannya akan kesenian barangkali pula karena sikapnya yang tidak unjuk dada, menyebabkan ia nampak pas untuk latar Indonesia. Konselornya, Tony Siddiqi, dengan gelar kesarjanaan karena studinya tentang politik Indonesia, dan dengan lidahnya yang sudah diwarnai logat Jakarta, bergaul ke sana kemari dari Aspri hingga kalangan cendekiawan. Kunjungan Perdana Menteri Lee Kuan Yew minggu ini pada dasarnya boleh dikatakan adalah puncak hasil usaha diplomatik kedua belah fihak selama tiga tal1un terakhir ini. Sebab, walaupun di mana-mana orang berbicara tentang ASEAN, ikhtiar perbaikan komunikasi antara kantor PM di Istana Negara Singapura dengan Bina Graha bukanlah perkara yang sudah siap begitu saja. Para pejabat di Indonesia beberapa waktu lamanya mengeluh, dan setengah menuduh, bahwa Singapura menyembunyikan sesuatu ,ang berbau "penyelundupan" dengan tidak mau mengumumkan statistik perdagangan yang terjadi antara mereka dengan orang-orang Indonesia. Fihak Singapura sebaliknya menjelaskan, bahwa hal itu terutama disebabkan karena perbedaan peristilahan. "Soal penyelundupan", kata Menteri Luar Negeri Rajaratnam dalam wawancara dengan Salim Said dari TEMPO minggu lalu di Singapura,"selain bahwa hal itu sudah berlangsung jauh sebelum Singapura merdeka, juga konsep atau pengertian tentang apa itu penyelundupan, berbeda penafsirannya antara Indonesia dengan Singapura". Bahkan menurut Rajaratnam, pengertian apa itu "ekspor" atau "impor" juga berbeda (lihat selanjutnya wawancara dengan Rajaratnam). Argumentasi ini belum tentu mustahil, mengingat di kalangan perstatistikan Indonesia sendiri perbedaan semacam itu juga terjadi hingga angka-angka yang dikumpulkan satu badan berbeda dengan badan yang lain. Di samping dan mungkin juga di atas semua itu, ada sebab lain. Seperti dikatakan seorang pejabat penting KBRI di Singapura: "Perbedaan yang terlalu besar dalam angka perdagangan, juga diperlihatkan dikhawatirkan akan menyebabkan kesalah-fahaman dengan Indonesia -- satu hal yang kurang baik buat taraf hubungan antara kedua negara sekarang ini". 3 Atau 12 Dalam perkara angka ini pun, kedua belah fihak nampak tidak ingin meributkannya. Seperti dikatakan Rajaratnam, sekitar 1968 pernah ada komisi bersama kedua negara yang memulai membicarakan soal tersebut, tapi kemudian terhenti karena peristiwa penggantungan dua KKO, dan kini pun penyelesaiannya masih jauh dari selesai. "Masih harus memerlukan waktu". Dan daripada terlalu banyak mengurusi hal yang memerlukan waktu itu, kedua negeri yang bertetangga rupanya ]ebih suka bergembira dengan satu hal yang langsung bisa mereka setujui secara bilateral. Itu adalah persetujuan perbatasan di Selat Singapura, yang perjanjiannya akan ditandatangani bersama dalam salah satu acara kunjungan resmi Lee Kuan Yew di Jakarta. "Ini kemajuan yang sangat berarti",kata Dr Hasyim Djalal, ahli hukum laut yang belum lama ini diangkat jadi salah satu orang penting di KBRI di Singapura - pengangkatan mana menunjukkan perhatian terhadap perkara-perkara selatan antara dua negara. Sementara itu bagi fihak Singapura, perjanjian perbatasan buat pertama kalinya setelah kemerdekaan kedua negara ini nampaknya merupakan satu isyarat tentang kehendaknya untuk berbaik-baik dengan tetangganya yang pernah malas dan jengkel. "Saya berharap bahwa dengan ditandatanganinya perjanjian penetapan garis batas laut di Selat Singapura itu dalam kunjungan PM Lee ke Jakarta, kami dapat memberikan bantuan tidak langsung kepada Indonesia dalam mengatasi soal penyelundupan", kata Rajaratnam. "Dengan adanya perbatasan yang jelas antara kedua negara di selat tersebut, maka mudah bagi kapal patroli Indonesia untuk mengontrol para penyelundup". Perjanjian tersebut memang menggembirakan Jakarta. Hal ini barangkali harus dilihat dalam hubungannya dengan masalah lain yang lebih prinsipiil dan sekaligus masih merupakan masalah ketidak-akuran yang agak ramai antara Indonesia dengan Singapura. Setiap kali pejabat dari Jakarta bertemu dengan pejabat negeri tatangganya itu, agaknya satu hal secara kurang enak rada menyekat antara mereka: perkara sikap Singapura tentang batas laut teritorial. Indonesia, alias Nusantara yang terdiri banyak selat dan kepulauan ini, perlu merivisi pendapat lama dalam hukum laut: batas laut teritorial tak cuma 3 mil -- terlalu dekat untuk peluru kapal modern -- melainkan 12. Karena dalam soal ini Malaysia cocok pendapat dengan tetangganya, maka apabila ini diterima dalam hukum laut baru, Singapura yang terletak di tengah mereka sebagai pelabuhan dunia dan sebagai negara pelayaran bagaikan dikatupkan pintunya di Selat Malaka. Seperti Jepang, dan Amerika Singapura pun bersiteguh dengan hukum 3 mil. Dan seperti ketiga negara yang punya armada dagang yang besar itu, Singapura juga kurang setuju dengan Indonesia + Malaysia yang tidak menginginkan pelayaran bebas di Selat Malaka. "Bagi Indonesia, yang dikehendaki ialah pelayaran yang aman dan tidak mengganggu keselamatan wilayah pantaunya", kata seorang pejabat KBRI Singapura, "sedang bagi Singapura adanya pelayaran bebas untuk siapa saja adalah suatu pendirian pokok". Persetujuan Di Tokyo Namun sebagaimana hal-hal lain yang belum diakuri bersama oleh kedua negara, perbedaan pendirian mengenai batas laut teritorial dan khususnya soal pelayaran di Selat Malaka ini cenderung untuk diredakan dengan banyak diam. Seorang perwira tinggi Hankam di Jakarta menyebut klaim Indonesia atas batas laut teritorial 12 mil sebagai perjuangan "jangka yang sangat panjang", sebab itu memang merupakan perombakan hukum laut internasional yang biarpun ketinggalan jaman tapi masih dianggap syah oleh semua negara di dunia. "Dan terhadap sikap serta pernyataan-pernyataan Singapura yang tak menyetujui pendirian kita", kata perwira tersebut pula, "kita tak perlu marah dan emosionil, sebab kita juga bisa mengerti pendirian msreka walaupun tak kita setujui - dan di samping itu kerjasama ASEAN mcrupa kan prioritas". Mungkin sebab sikap Jakarta yang seperti itulah, maka tak ada reaksl apa-apa ketika PM Lce Kuan Yew dalam kunjungannya ke Tokyo menjelang pertengahan bulan ini menyatakan saling setuju dengan Jepang tentang terjaminnya terus pelayaran bebas di Selat Malaka. Kalangan KBRI di Singapura hanya mencatat, bahwa persetujuan di Tokyo itu bukan sesuatu yang luarbiasa. "Lagipula", kata seorang pejabat di sana, "menurut pemberitaan pers Singapura, yang disetujui ialah terjaminnya kelanjutan pelayaran yang aman, dan itu tak bertentangan dengan kita". Namun sementara itu diakuinya pula, bahwa dalam pers Jepang, kata-kata "pelayaran yang aman". itu ternyata ditulis sebagai "pelayaran yang bebas". Sementara itu dalam keterangannya kepada Goenawan Mohamad dari TEMPO, Menteri Luar Negeri Singapura sendiri menegaskan bahwa kata-kata "pelayaran bebas" itulah yang sebenarnya dipakai dalam kesefakatan dengan Jepang di Tokyo. "Itu memang pendirian kami yang telah diketahui", kata Rajaratnam. Bagi Singapura, pengertian "pelayaran bebas" ini bukannya tanpa batas, sebab antara lain masalah keamanan negara-negara pantai yang bersangkutan dan masalah bahaya pencemaran laut tetap harus diperhatikam Namun istilah "in nocen passage" (pelayaran yang tak bermaksud mengganggu keamanan) yang dikehendaki Indonesia sebagai syarat bagi kapal-kapal asing yang liwat di selatnya, oleh Singapura dianggap terlalu luas artinya, kurang pasti dan bisa ditafsirkan berbeda-beda serta seenaknya oleh fihak-fihak yang berkepentingan. Pendeknya, perbedaan pendirian antara Singapura dan Indonesia masih menegas di sini -- sampai suatu kesefakatan internasional -- dan bukan regional - tercapai. Saudara Sepupu Tapi tidakkah perbedaan pendirian seperli itu mempunyai suatu latarbelakang yang kurang enak, bukan cuma perbedaan cara melihat persoalan? Tidak suatu rahasia, bahwa sementara analisa di Jakarta - entah ilmiah atau tidak menganggap sikap Singapura yang dianggap sering "sok mau berbeda" itu mencerminkan sikap kurang percayanya pada kedua negara tetangganya yang terdekat, Malaysia dan Indonesia. Anggapan ini biasanya diberi dasar yang cukup terkenal dan agak meyakinkan: (1) Singapura merupakan negeri dengan 76,2 persen penduduk berasal dari ketumnan Cina, sedangkan Malaysia + Indonesia adalah dua negeri "Melayu". Sementara itu secara tradisionil pergaulan antara kedua rumpun bangsa itu di kawasan ini umumnya kurang baik. (2) Hubungan antara Malaysia dengan Indonesia, apalagi setelah konfrontasi, sangat lancar sccara wajar, seperti terlihat dari persetujuan Malaysia + Indonesia mengenai batas laut teritorial serta pembatasan pelayaran di Selat Malaka. (3) Padahal, hubungan antara Singapura dengan Malaysia kurang baik, semenjak Tengku Abdul Rahman mendesak Lee Kuan Yew untuk keluar dari Federasi Malaysia di tahun 1965. (4) Harus dicatat pula, bahwa hubungan antara Indonesia -- Singapura, meskipun makin berkembang akhir-akhir ini, tidak seluruhnya bebas dari apa yang beberapa minggu yang lalu oleh Menteri Luar Negeri Adam Malik disebut sebagai "hambatan-hambatan psikhologis". Dengan kata lain, Singapura dianggap merasa sebagai negeri kecil yang terjepit di antara dua negeri besar yang saling berkawan --dan mungkin malah "berkomplot". Benar atau tidak dugaan tentang perasaan Singapura itu, Menteri Rajaratnam sendiri memang merasakan betapa kedua negara tetangga itu memandang republiknya agak di luar rumah. Sebagai bekas wartawan yang lahir di Malaysia dan punya ibu serta saudara di sana, persepsinya tentang ini cukup tajam dan peka. Hubungan Jakarta -- Kuala Lumpur, bahkan dengan Manila, "bagaikan hubungan dengan saudara", kata Rajaratnam, sementara hubungan dengan Singapura "tidaklah lebih daripada hubungan saudara sepupu" lihat wawancara). Ucapan terus-terang yang mungkin dimaksudkan untuk sedikit menggugat perlakuan aak diskriminatif tcrhadap sesama ASAN ini barangkali menjelaskan bahwa Singapura memang merasa ia belum diterima sepenuh hati sebagai baglan sedarah" dalam ASEAN. Benarkah'? Rajaratnam sebenarnya telah memilih kata-kata yang masih enak. Sebab meskipun bukan anggapan resmi, di Indonesia dan mungkin pula di Malaysia ada anggapan yang lebih muram, yakni bahwa Singapura adalah semacam Israel di Asia Tenggara, dan memang menyamakan diri dengan Israel di Timur Tengah: sebuah negeri kecil yang maju, tempat berhimpunnya orang perantauan yang sering dianggap sebagai "Yahudi" Asia, dikelilingi oleh negara-negara yang berbeda ciri rasial dan-kebudayaannya. Berbahaya "Teori Israel" tentang Singapura ini memang tampak diperkuat, ketika Singapura mengundang orang-orang Israel untuk melatih tentaranya. Tapi teori itu. meskipun menarik, apabila dijadikan pegangan yang mutlak bisa sekaligus berbahaya dan menyesatkan. Sebab menganggap Singapura persis sebagai "Israel" di "Timur Tengah" Asia Tenggarasama artinya dengan menganggap wilayah ini sebagai calon ajang peperangan regional. Padahal kenyataan sampai sejauh yang nampak memustahilkan itu. Faktor sejarah dan kaitannya dengan kepercayaan agama dalam konflik antar negara tidak sebegitu berakar di kawasan ini dibandingkan dengan di Timur Tengah. Betapapun seretnya, kerjasama regional di sini ternyata lebih mudah untuk dirintis. Di samping itu, bisa juga dilihat bahwa dalam mendatangkan pelatih Israel, pemerintah Singapura agaknya lebih menunjukkan sikap pragmatisnya yang terkenal sangat menonjol daripada menunjukkan rasa senasibnya dengan sebuah negeri Yahudi nun jauh di sana. Setidaknya, Israel tidak punya faham politik yang bisa diinvestasikannya secara tetap di Singapura. Dan betapapun besarnya kekuatan militer Singapura, kecuali kalau disertai nuklir, suatu peperangan dengan tetangganya cuma akan menghabiskan nafasnya sendiri sebagai sekedar sebuah "republik kota". Barangkali sampai dengan rmasa depan yang bisa terlihat, tak ada jeleknya orang menganggap usaha Lee Kuan Yew dalam membentuk tentara tidak jauh dari usahanya untuk menciptakan "kesadaran nasional" Singapura di kalangan rakyatnya, seperti dikatakan oleh Rajaratnam kepada Salim Said. Meskipun demikian, suatu ketegangan yang genting bukannya hal yang samasekali mustahil di kawasan ini Potensi untuk konflik antar-ASEAN masih cukup terlihat. Pilipina masih belum beres urusannya soal Sabah dengan Malaysia, dan kerusuhan di bagian selatannya baru-baru ini memheri eksentuasi baru atas suasana panas yang latent. Sikap Malaysia terhadap Singapura, dan sebaliknya, masih menunjukkan bahwa perpisahan di tahun 1965 dulu tetap belum meninggalkan lukalukanya. Dalam minggu lalu, secara sefihak dan mendadak Malaysia memutuskan perjanjian penyatuan moneter dengan Singapura, sebagaimana sebelum nya perusahaan angkutan udara bersama, MSA, dipisahkan menjadi MAS dan SIA, masing-masing dengan bendera nasional sendiri. Fihak Singapura -- tak kulang dari Lee Kuan Yew sendiri cenderung menganggap tindakan Malaysia itu lebih berdasarkan "alasan psikhologis" daripada ekonomis. Secara tersirat, Lee sebenarnya menganggap Malaysia didorong oleh semangat nasionalistis yang kurang cocok dengan semangat regionalisme kini dan kelak (lihat: Fikiran-Fikiran Singapurawan). Was-Was Menyimak peta Asia Tenggara dan jurang-jurang kepercayaan yang tersembunyi di situ tidak akan mengherankan seandainya Singapura memang memasukkan kemungkinan konflik antar-tetangga ke dalam perhitungannya. Dengan penduduk tak sampai 3 juta tapi pendapatan per jiwa $ 1000 lebih, Singapura adalah seperti seorang anak kota yang kaya di tengah kerumunan orang kampung yang miskin. Bila ia tidak was-was maka itu sungguh aneh, apalagi dengan kenangan konfrontasi Indonesia di masa silam dan sisa-sisa sakit perpisahan dengan Malaysia di masa kini. Setidaknya, lebih intern dari para tetangganya yang berukuran besar, Singapura merasakan perlunya penjagaan keamanan huat tubuhnya yang mini dan isi kantongnya yang maksi. Oleh sebab itu dari sini selalu terdengar kemungkinan minta perlindungan kepada kekuatan-kekuatan militer luar. Di bulan April tahun 1971 ia merasa lega karena Inggeris tak begitu saja menarik kehadiran tentaranya di sana dan perjanjian pertahanan 5 negara (Inggeris, Australia. Selandia Baru dan Singapura serta Malaysia) ditandatangani. Dalam kunjungannya ke Jepang beberapa hari yang lalu, Singapura nampaknya ingin meminta jaminan buat kelegaannya lebih lanjut tatkala Lee Kuan Yew mengusulkan dibentuknya "satuan tugas gabungan angkatan laut" antara AS, Eropa Barat, Australia-Selandia Baru dan Jepang. Alasannya: untuk menghadapi dan mengimbangi kehadiran Uni Sovyet di Lautan Teduh dan Lautan Hindia. Keinginan buat jaminan perlindungan seperti itu, meskipun memang wajar buat posisi Singapura dan tidak aneh bagi fikiran Lee Kuan Yew yang terus-terang, serba mau praktis dan cepat beres, terkadang tambah meletakkan Singapura di luar semangat negara tetangga nya seperti Indonesia, yang umumnya tetap meragukan kekuatan asing dalam soal pertahanan. Usul Lee Kuan Yew tentang gabungan angkatan laut misalnya di tanggapi jurubicara Departemen Luar Negeri di Jakarta dengan pernyataan bahwa Indonesia menghendaki Lautan Hindia jadi "wilayah perdamaian yang "bersih dari segala pengaruh, kekuatan dan tentangan negara-negara besar". Bagi Lee Kuan Yew ataupun Rajaratnam tentu saja kehendak macam begitu mustahil tercapai, sebab kenyataannya ada armada negara besar di sana dan negara kecil sendirian tak bisa mengimbanginya. Tapi memang di situlah terletak alam pemikiran yang berbeda: para pemimpin Singapura yang terdidik secara Barat adalah orang-orang yang mengutamakan sekali sikap realistis dan rasionil serta pragmatis, sedang para pemimpin Indonesia -- walaupun dalam masa post-Soekarno ini juga menghargai sikap seperti itu, pada dasarnya masih punya pertalian yang kuat dengan khazanah sejarah revolusi dan nasionalisme yang telah memerdekakan Indonesia praktis tanpa bantuan dari luar. Global City Dengan alam fikiran para pemimpin Singapura yang demikian, dengan prestasi ekonominya yang pesat meninggi, dengan perjalanan ke masa depannya yang digambarkan Rajaratnam menjadi satu "global city" alias kota jagad Singapura yang kecil di Asia Tenggara itu mungkin akan mengalami semacam krisis identitas. Ambisinya adalah menjadi bagian dari peradaban super-modern, yang menghubungkan kota-kota besar seluruh dunia. Dan ia agaknya mampu untuk itu. Tapi sementara itu negara kota yang tak punya ,laerah pedalaman itu pada dasarnya dibayang-bayangi oleh daerah pedesaan yang luas dan lamban: Indonesia dan Malaysia. Singapura secara geografis memang memandang dirinya sebagai bagian dari Asia Tenggara Lee Kuan Yew di forum internasional selalu menjurubicarai kawasan ini -tapi secara kulturil agaknya sulit untuk demikian. Hal ini bukan karena faktor rasili pada akhirnya, tapi karena pacuan untuk mencapai kekayaan ekonomi yang telah berjalan dengan cepat dan dengan sendirinya, karena lingkungan teknologis dan gaya hidup yang berubah. Pada suatu ketika nanti mungkin saja negeri tetangganya, Indonesia, yang kegemukan demografi dan geografi, yang berjalan lambat dalam pembangunan ekonominya, akan melihat Singapura seba,gai makin asing, bagaikan pak tani melihat kota besar yang mengagumkan tapi membingungkan, yang kaya akan materi tapi bengis. Tidakkah gambaran futuristik seperti itu terlalu muram? Mungkin, paling sedikit bagi Rajaatnam yang optimis. "Dengan menjadi Global City tidak berarti bahwa Singapura lalu menganggap tidak penting negara-negara di kawasan ini", katanya. "Yang terjadi pulalah sebaliknya. Hubungan dagang kami terbanyak dengan kawasan ini. Lagi pula kemakmuran kawasan ini mempunyai arti dan pengaruh langsung kepada kami. Oleh karena itu kalau anda tanya siapa yang paling punya kepentingan dengan ASEAN, maka dengan tidak ragu-ragu saya menyebut Singapura lah yang pertama". Sudah tentu. Perbedaan tingkat perkembangan ekonomi antara Singapura dengan negara sekitarnya akan membahayakannya sendiri apabila itu terlalu tajam. Tapi tak seorangpun tahu apa yang akan terjadi kelak, dan rupanya pada taraf sekarang hal itu merupakan "pertanyaan filosofis belaka" buat Lee Kuan Yew. Pada taraf sekarang ASEAN sedang berada dalam menghadapi masalah-masalah yang lebih dekat ke masa lalu daripada masa depan, seperti tercermin dari pelbagai konflik tersembunyi di antara mereka. Kakak Tua Untunglah, bahwa ASEAN tidak kunjung jadi sekedar pertemuan diskusi yang melelahkan untuk dilihat. Dengan sikap kakak yang lebih tua dan repot bekerja, seraya bersusah-payah menghindarkan kesan menggurui para tetangga, Indonesia boleh dipuji sedikit bahwa ia lebih bersifat regionalis dari yang sudah-sudah dan menghindarkan kemungkinan konflik. Sambutan yallg disiapkan buat kunjungan Lee Kuan Yew ke Jakarta dengan segala kehati-hatian, mengingat kenangan tak enak Oktober 1968, menunjukkan satu masa baru bukan saja buat Indonesia-Singapura, tapi buat seluruh Asia Tenggara. Bagi Lee Kuan Yew sendiri kunjungan resminya yang kedua ke Indonesia ini (yang pertama di tahun 1960, setelah ia menang dalam pemilihan umum dan jadi PM) barangkali akan ia tunjukkan lagi sebagai isyarat bahwa ia tidak meremehkan negeri besar di dekatnya. Memang, sejak beberapa waktu yang lampau acara saling kunjung-mengunjungi di kalangan pejabat penting kedua-negara sudah berulang kali terjadi tanpa banyak kemeriahan: bukan saja Menteri Adam Malik, tapi juga Jenderal Panggabean, Jend. Sumitro (yang disertai almarhum Mayjen Sugeng Djarot) dan Mayjen Sudjono Humardani telah bertemu dengan orang pertama Singapura itu. Sebaliknya, orang No.2 Singapura, Dr. Coh Kheng Swee, sudah pul datang ke Jakarta. Tapi meski pun begitu, pertemuan Lee dan Suharto di Jakarta -- yang sudah beberapa kali ditunda atas kehendak Indonesia - pasti akan mempunyai efek besar ke masyarakat kedua negara yang walaupun berdekatan, tapi kurang saling mengetahui. Sebab pertemuan itu bukanlah sekedar upacara dengan dua peran di atas pentas diplomasi. Bukan pula acara salaman dan tandatangan. Semua itu penting. Tapi, seperti dikatakan oleh Mayjen Sunarso, bekas Dutabesar RI di Singapura kepada TEMPO, "lebih penting dari segalanya adalah pertemuan itu sendiri". Banyak orang akan menyetujui Sunarso ketika ia mengatakan bahwa letak kunci perbaikan hubungan kedua negara berada dalam hubungan antara kedua pemimpin. Latarbelakang kebudayaan kedua pemimpin itu sangat berlainan walaupun seperti dikatakan Rajaratnam, keduanya "tokoh pragmatis". Bisakah ada kaitan hati antara keduanya? Mudah-mudahan. Mereka telah pernah bertemu di Konperensi Non-Blok di Lusaka, di saat mana Presiden Suharto menyampaikan undangannya kepada PM Lee. Mereka lambang dari dua negara, yang untuk kepentingan masing-masing dan ketenteraman Asia Tenggara, dengan bijaksana memutuskan untuk bersatu. Memang banyak hal masih belum selesai antara kedua negara, dan hal-hal baru akan muncul kelak. Tapi kalau kedua pemimpin itu nanti berpisah di Kemayoran dengan senyum ikhlas, orang boleh berharap.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Visitor

Free counters!
Powered by Blogger.

- Copyright © Krisna Zone -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -